Putrapayaman - Pondok Pesantren al-Ishlah Sendangagung, Paciran, Lamongan tidak bisa
dipisahkan dari sosok KH Mohammad Dawam Sholeh sebagai pendiri dan
pengasuh pondok hingga saat ini. Bagi Kiai Dawam, pesantren memang sudah
bagian dari hidupnya.
Sebelumnya, selama 11 tahun dia mondok di Pondok Pesantren Darussalam Gontor, Ponorogo. Dalam waktu 11 tahun tersebut, Kiai Dawam juga mengikuti kuliah di Fakultas Ushuluddin di Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor. Selepas keluar dari Gontor, ia melanjutkan studinya dengan mengambil Jurusan Filsafat di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.
Selama di Yogyakarta, Kiai Dawam tinggal di pondok pesantren. Tepatnya di Pondok Pesantren Pabelan, Muntilan. Di pondok asuhan KH Hamam ini, ia mengajar sambil mempelajari seluk-beluk perintisan pesantren. Saya bertekad untuk mendirikan pesantren, kata Kiai Dawam kepada Pelita.
Makanya ketika selasai kuliah di UGM, dia ditawari menjadi Kepala Sekolah Muhammadiyah di tanah kelahirannya di Sendangagung Paciran Lamongan, langsung dia diterima. Karena menurutnya, sambil menjadi kepala sekolah dia bisa merintis mendirikan pesantren. Alhamdulillah, tiga tahun setelah itu, 13 September 1986, Pesantren al-Ishlah resmi didirikan, ungkapnya.
Yang menarik sosok kiai kelahiran 9 November 1953 ini berbeda dengan umumnya para kiai pengasuh pesantren. Kiai Dawan produktif dalam menulis buku. Kiai Dawam telah menulis lima buah buku. Dua buku fiksi dan tiga buku non-fiksi. Jalan ke Pesantren dan Reformasi Politik Amien Rais merupakan buku fiksi. Untuk buku Jalan ke Pesantren menjadi buku yang wajib dibaca oleh para santri. Karena di buku tersebut menjelaskan seluk-beluk dunia kepesantrenan. Mulai dari sejarah, arti, jiwa, kurikulum, disiplin hingga bagaimana peran kiai, jelasnya.
Dia melanjutkan, setiap awal tahun buku tersebut dibedah secara bersama-sama yang dikemas dalam acara khotbah iftitah pesantren. Dengan ini semua santri bisa mendalami dan mengahayati arti dan makna pesantren, ucapnya.
Sementara yang non-fiksi, berbentuk puisi, Di Telaga Kepasrahan, Sirah Rasul, dan Mimpi Anak Ibu Pertiwi. Buku Di Telaga Kepasrahan dibedah bersama para sastrawan nasional pada tahun 2003: Emha Ainun Najib, Ajib Rosyidi, dan D Zawawi Imron.
Dalam pengakuannya, dalam waktu dekat dia juga akan meluncurkan buku baru yang berjudul Keterkaitan Pesantren dengan Pramuka. Buku ini sudah jadi, tinggal diterbitkan, akunya.
Kiai Dawam menjelaskan ada persamaan dan perbedaan antara Pramuka dengan pesantren. Pramuka menanamkan hubbul wathon (cinta Tanah-Air), sementara pesantren menanamkan hubbu as-syariah (cinta syariat Islam). Pesantren dan Pramuka sama-sama menanamkan pentingnya kedisiplinan, kesederhanaan, kebersamaan, kesabaran, dan sebagainya, katanya.
Berbeda dengan pesantren lainnya, Pesantren al-Ishlah, akunya, memang mempunyai keunggulan dalam pembinaan Pramuka. Pramuka yang dimiliki Pesantren al-Ishlah menjadi andalan Kwarcab Pramuka Lamongan, bahkan Jawa Timur, terangnya.(zul hidayat)
Sebelumnya, selama 11 tahun dia mondok di Pondok Pesantren Darussalam Gontor, Ponorogo. Dalam waktu 11 tahun tersebut, Kiai Dawam juga mengikuti kuliah di Fakultas Ushuluddin di Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor. Selepas keluar dari Gontor, ia melanjutkan studinya dengan mengambil Jurusan Filsafat di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.
Selama di Yogyakarta, Kiai Dawam tinggal di pondok pesantren. Tepatnya di Pondok Pesantren Pabelan, Muntilan. Di pondok asuhan KH Hamam ini, ia mengajar sambil mempelajari seluk-beluk perintisan pesantren. Saya bertekad untuk mendirikan pesantren, kata Kiai Dawam kepada Pelita.
Makanya ketika selasai kuliah di UGM, dia ditawari menjadi Kepala Sekolah Muhammadiyah di tanah kelahirannya di Sendangagung Paciran Lamongan, langsung dia diterima. Karena menurutnya, sambil menjadi kepala sekolah dia bisa merintis mendirikan pesantren. Alhamdulillah, tiga tahun setelah itu, 13 September 1986, Pesantren al-Ishlah resmi didirikan, ungkapnya.
Yang menarik sosok kiai kelahiran 9 November 1953 ini berbeda dengan umumnya para kiai pengasuh pesantren. Kiai Dawan produktif dalam menulis buku. Kiai Dawam telah menulis lima buah buku. Dua buku fiksi dan tiga buku non-fiksi. Jalan ke Pesantren dan Reformasi Politik Amien Rais merupakan buku fiksi. Untuk buku Jalan ke Pesantren menjadi buku yang wajib dibaca oleh para santri. Karena di buku tersebut menjelaskan seluk-beluk dunia kepesantrenan. Mulai dari sejarah, arti, jiwa, kurikulum, disiplin hingga bagaimana peran kiai, jelasnya.
Dia melanjutkan, setiap awal tahun buku tersebut dibedah secara bersama-sama yang dikemas dalam acara khotbah iftitah pesantren. Dengan ini semua santri bisa mendalami dan mengahayati arti dan makna pesantren, ucapnya.
Sementara yang non-fiksi, berbentuk puisi, Di Telaga Kepasrahan, Sirah Rasul, dan Mimpi Anak Ibu Pertiwi. Buku Di Telaga Kepasrahan dibedah bersama para sastrawan nasional pada tahun 2003: Emha Ainun Najib, Ajib Rosyidi, dan D Zawawi Imron.
Dalam pengakuannya, dalam waktu dekat dia juga akan meluncurkan buku baru yang berjudul Keterkaitan Pesantren dengan Pramuka. Buku ini sudah jadi, tinggal diterbitkan, akunya.
Kiai Dawam menjelaskan ada persamaan dan perbedaan antara Pramuka dengan pesantren. Pramuka menanamkan hubbul wathon (cinta Tanah-Air), sementara pesantren menanamkan hubbu as-syariah (cinta syariat Islam). Pesantren dan Pramuka sama-sama menanamkan pentingnya kedisiplinan, kesederhanaan, kebersamaan, kesabaran, dan sebagainya, katanya.
Berbeda dengan pesantren lainnya, Pesantren al-Ishlah, akunya, memang mempunyai keunggulan dalam pembinaan Pramuka. Pramuka yang dimiliki Pesantren al-Ishlah menjadi andalan Kwarcab Pramuka Lamongan, bahkan Jawa Timur, terangnya.(zul hidayat)
sumber: http://www.pelita.or.id/baca.php?id=73242
No comments:
Post a Comment